Bahagiakah engkau? Dengan dia yang menjadi cinta pertamamu? Sesuaikah dia dengan ekspektasimu?
Aku melihatmu. Dalam mimpiku. Semalam. Ternyata masih pilu. Melihat kalian disana. Bersama anak laki-laki tampan, yang bukan datang dari aliran darahmu. Tapi aku tau, kamu sebergantung itu padanya. Entah karena kamu bergantung kepadanya secara materi. Atau entah kamu benar-benar mencintainya. Aku tak tau alasan yang mana, tapi ternyata hatiku masih pilu.
Aku melewati ruangan kalian. Terus beranjak perlahan. Menyesap dalam-dalam rasa perih. Bahwa aku pernah percaya bahwa kamu mencintaiku. Bahwa aku pernah meletakkan duniaku dan rasaku dengan penuh untukmu.
Kamu mengejarku di sudut selasar mimpiku. Aku berkata, "Apa yang kau inginkan?". Kamu menjawab lirih, "Aku merindukanmu."
Aku tersedu. "Tapi aku tak tahan melihat kalian disana. Bohong jika aku suka melihat kalian bahagia. Aku pergi saja. Pilih saja yang hatimu mau."
Sambil menunduk, kamu bergegas berjalan di sebelahku sambil berujar, "Aku lebih memilihmu. Aku bisa meninggalkannya untukmu."
Setengah tak percaya, aku terbelalak. Kakiku masih melangkah. Tak tau harus berkata apa. Entah itu benar suara hatimu. Atau entah bibirmu yang sejak dulu pandai mengolah kata. Aku tak tau mana yang dapat kupercaya.
Aku terbangun dari mimpi. Dan hariku masih terasa sendu hingga senja.
Duniaku terguncang. Melihat tangan yang kupercaya akan selalu menjaga dan menggenggamku, menggenggam tangan yang lain.... dengan mudahnya.
Duniaku berkeping. Menyadari bahwa selama ini aku mengira memiliki rumah... namun ternyata fatamorgana.
Duniaku memudar. Semua kisah yang pernah dia gambarkan untukku... hanya sekedar ilusi.
Aku masih membeku. Disini. Ternganga. Tak percaya. Karena aku pernah sungguh-sungguh mempercayainya. Sungguh aku berharap aku bermimpi. Tapi kenyataan menamparku dengan keras. Sangat keras.
Aku memandangi koper-koperku. Yang nyaris semua kuletakkan di tempat yang kuanggap rumah. Aku tergugu. Harus kukemanakan semua kotak-kotak ini? Semuanya masih penuh dengan memori dan harapan. Untuk mengeluarkan dan membuangnya pun, tidak bisa sekaligus. Tanganku akan penuh memar dan darah untuk mengeluarkan itu semua... dari tempat yang kuanggap rumah.
Aku memandangi rumah kosong itu. Dan koper-koper usangku. Pandanganku kabur. Aku tersedu-sedu. Aku harus pergi kemana? Apa yang harus aku lakukan? Tubuhku limbung.
Aku mengusap dinding-dindingnya perlahan. Pilu. Aku masih mengingat tekstur rambutnya di tanganku. Aku masih mengingat jelas massa otot lengannya di gayutanku. Aku masih mengingat bahu lebarnya di sisi kanan kepalaku. Aku masih mengingat punggungnya yang selalu kupeluk dalam boncengan. Aku masih mengingat kaki kokohnya yang selalu berjalan menemaniku. Aku masih mengingat dengan detil semua ruas jari tangannya yang hangat. Aku masih bisa mengingat dengan detil semua jengkal tubuhnya...
Hujanku semakin deras.
Apa yang harus kulakukan dengan kota itu? Semua sudut tempat memiliki jejaknya. Jejak kami. Terlalu menyakitkan untuk kembali kesana. Namun tidak bisa terhindarkan untuk tidak pergi kesana.
Aku bersimpuh menggigil. Ketakutan. Dan penuh luka. Sendirian.
Aku bergumam. Aku harus beranjak, bukan? Tempatku bukan disini. Aku menguatkan diri untuk mundur 1 inchi. Lalu kembali terduduk. Dan menangis.
Dear me,
Everything changes, but you.
So what do you expect by staying the same?
Because nobody stays the same.
Because everything changes.
Because everyone changes.
So,
Don't hurt yourself by staying the same.
Don't rely your home on someone.
Stop crying for a home that hasn't been there anymore.
Wake up big girl. Let's move on.
Tidak ada yang tersisa disini. Puing-puing ini bukan rumah. Hanya fatamorgana yang kamu pikir nyata.
Aku mengangguk, sembari bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku menangisi kisahnya? Ataukah aku menangisi kisahku sendiri? Aku melepaskan genggaman tanganku darinya perlahan. Mengambil selembar tisu, dan menata kembali kotak pandoraku kembali.
Jauh di palung terdalam, aku bergumam;
I know how it exactly felt to spin around like a child. Safely. No matter how many times I bumped into each corner. I know I will be safe with him.
Lagi. Untuk kesekian kalinya, aku berbisik pada Tuhan. Tolong. Kumohon. Tolong aku, dengan segala kekacauan ini.