I wish I was who you drunk texted at midnight...

Recently, I've been immersed in "Drunk Text" by Henry Moodie. His music hits me in all the right places, igniting a desire to sing along with you. But ughhhh, the ache of missing you hits hard.


Apa kabar? Masihkah ada jejakku yang tersisa di tempatmu?

Bahagiakah engkau?

Bahagiakah engkau? Dengan dia yang menjadi cinta pertamamu? Sesuaikah dia dengan ekspektasimu?

Aku melihatmu. Dalam mimpiku. Semalam. Ternyata masih pilu. Melihat kalian disana. Bersama anak laki-laki tampan, yang bukan datang dari aliran darahmu. Tapi aku tau, kamu sebergantung itu padanya. Entah karena kamu bergantung kepadanya secara materi. Atau entah kamu benar-benar mencintainya. Aku tak tau alasan yang mana, tapi ternyata hatiku masih pilu.

Aku melewati ruangan kalian. Terus beranjak perlahan. Menyesap dalam-dalam rasa perih. Bahwa aku pernah percaya bahwa kamu mencintaiku. Bahwa aku pernah meletakkan duniaku dan rasaku dengan penuh untukmu.

Kamu mengejarku di sudut selasar mimpiku.  Aku berkata, "Apa yang kau inginkan?". Kamu menjawab lirih, "Aku merindukanmu."

Aku tersedu. "Tapi aku tak tahan melihat kalian disana. Bohong jika aku suka melihat kalian bahagia. Aku pergi saja. Pilih saja yang hatimu mau."

Sambil menunduk, kamu bergegas berjalan di sebelahku sambil berujar, "Aku lebih memilihmu. Aku bisa meninggalkannya untukmu."

Setengah tak percaya, aku terbelalak. Kakiku masih melangkah. Tak tau harus berkata apa. Entah itu benar suara hatimu. Atau entah bibirmu yang sejak dulu pandai mengolah kata. Aku tak tau mana yang dapat kupercaya.

Aku terbangun dari mimpi. Dan hariku masih terasa sendu hingga senja.

Satu inchi.

Sungguh, aku pernah berpikir, bahwa tangan itu akan menggenggamku selamanya. Dia pernah berjanji, dan minta aku buktikan itu. Bahwa dia akan selalu ada disana. Hingga kami menua. Dan aku pernah percaya itu.

Sejak itu, tidak pernah satu inchi pun aku beranjak pergi. Aku masih disana. Tak pernah beranjak selama ribuan hari. Kukira dia duniaku. Kukira dia rumahku. Yang masih selalu dengan riang aku cari dan berlari-lari menggelayut ke arahnya. Kukira dia tempat ternyamanku. 

Sungguh aku bodoh. Betapa aku naif. Meletakkan semua milikku di tempat yang sama bertahun-tahun, dan percaya bahwa dia akan menepati janjinya.

Duniaku terguncang. Melihat tangan yang kupercaya akan selalu menjaga dan menggenggamku, menggenggam tangan yang lain.... dengan mudahnya.

Duniaku berkeping. Menyadari bahwa selama ini aku mengira memiliki rumah... namun ternyata fatamorgana.

Duniaku memudar. Semua kisah yang pernah dia gambarkan untukku... hanya sekedar ilusi.

Aku masih membeku. Disini. Ternganga. Tak percaya. Karena aku pernah sungguh-sungguh mempercayainya. Sungguh aku berharap aku bermimpi. Tapi kenyataan menamparku dengan keras. Sangat keras.

Aku memandangi koper-koperku. Yang nyaris semua kuletakkan di tempat yang kuanggap rumah. Aku tergugu. Harus kukemanakan semua kotak-kotak ini? Semuanya masih penuh dengan memori dan harapan. Untuk mengeluarkan dan membuangnya pun, tidak bisa sekaligus. Tanganku akan penuh memar dan darah untuk mengeluarkan itu semua... dari tempat yang kuanggap rumah.


Aku memandangi rumah kosong itu. Dan koper-koper usangku. Pandanganku kabur. Aku tersedu-sedu. Aku harus pergi kemana? Apa yang harus aku lakukan? Tubuhku limbung.


Aku mengusap dinding-dindingnya perlahan. Pilu. Aku masih mengingat tekstur rambutnya di tanganku. Aku masih mengingat jelas massa otot lengannya di gayutanku. Aku masih mengingat bahu lebarnya di sisi kanan kepalaku. Aku masih mengingat punggungnya yang selalu kupeluk dalam boncengan. Aku masih mengingat kaki kokohnya yang selalu berjalan menemaniku. Aku masih mengingat dengan detil semua ruas jari tangannya yang hangat. Aku masih bisa mengingat dengan detil semua jengkal tubuhnya...


Hujanku semakin deras.


Apa yang harus kulakukan dengan kota itu? Semua sudut tempat memiliki jejaknya. Jejak kami. Terlalu menyakitkan untuk kembali kesana. Namun tidak bisa terhindarkan untuk tidak pergi kesana.


Aku bersimpuh menggigil. Ketakutan. Dan penuh luka. Sendirian.


Aku bergumam. Aku harus beranjak, bukan? Tempatku bukan disini. Aku menguatkan diri untuk mundur 1 inchi. Lalu kembali terduduk. Dan menangis.

Aku menatap nanar wajah penuh hujanku di pantulan cermin, dan berkata: "Terimakasih, telah menguatkan diri untuk beranjak pergi, meski hanya satu inchi. Terimakasih, telah bertahan selama itu, di tempat yang sama. Bertahun-tahun lamanya. Terimakasih, tidak pernah berubah sedikitpun selama itu. Kamu hebat. Terimakasih ya."

Aku kembali tergugu dan menatap bola mata cokelat di pantulan cerminku. Menghiburnya kembali dengan berkata: "Tidak apa-apa. Sungguh, tidak apa-apa. Menangislah lagi, jika itu bisa menyembuhkanmu. Tapi besok, kita beranjak lagi pelan-pelan ya... Meski hanya satu inci lagi, tidak apa-apa. Akan tiba masanya, kamu akan meninggalkan rumah itu dengan sempurna. Mungkin bukan sekarang. Tapi pasti suatu hari nanti."


Advice to myself

Dear me,


Everything changes, but you.

So what do you expect by staying the same?

Because nobody stays the same.

Because everything changes.

Because everyone changes.

So,

Don't hurt yourself by staying the same.

Don't rely your home on someone.

Stop crying for a home that hasn't been there anymore.

Wake up big girl. Let's move on.

Tidak ada yang tersisa disini. Puing-puing ini bukan rumah. Hanya fatamorgana yang kamu pikir nyata.

Perjalanan empat derajat celcius

Empat derajat celcius. Dalam sebuah van hitam. Seorang wanita dari Vietnam duduk di sebelahku sepanjang perjalanan hari ini. Dia bercerita tentang liku-liku hidupnya yang tidak mudah. Aku mengamini, karena aku percaya, sesungguhnya setiap orang memiliki perjuangan dan peperangan hidup masing-masing. Yes, everyone is struggling the war that we might not know. So, instead of judging, try another way: understanding. And be kind to others.

Aku menggenggam tangannya, hingga dia mengucapkan sepatah kalimat di tengah kisah peperangan hidupnya: "I can become a child whenever I'm with him".

It hit me. Hard. All of sudden.

Aku menggigil. Mantel tebal yang kukenakan terasa tipis. Temperatur udara luar yang semakin menurun terasa menembus winter stockingku yang sudah kukenakan hingga dua lapis. Semua yang kusimpan dengan rapi di planet kecil itu, tiba-tiba berhamburan keluar. Membuncah dengan carut marut rasa yang sulit diterjemahkan. Mataku menatap nanar jalanan lengang dari balik kaca mobil van hitam kami. Bulir-bulir air yang menetes di sudut mataku, membuatku terhenyak. Gadis ini sedang bercerita. Namun aku yang menangis. Dia meyakinkanku dengan berkata: "I'm okay, Riris".

Aku mengangguk, sembari bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku menangisi kisahnya? Ataukah aku menangisi kisahku sendiri? Aku melepaskan genggaman tanganku darinya perlahan. Mengambil selembar tisu, dan menata kembali kotak pandoraku kembali.

Jauh di palung terdalam, aku bergumam;
I know how it exactly felt to spin around like a child. Safely. No matter how many times I bumped into each corner. I know I will be safe with him.

Lagi. Untuk kesekian kalinya, aku berbisik pada Tuhan. Tolong. Kumohon. Tolong aku, dengan segala kekacauan ini.