Duniaku terguncang. Melihat tangan yang kupercaya akan selalu menjaga dan menggenggamku, menggenggam tangan yang lain.... dengan mudahnya.
Duniaku berkeping. Menyadari bahwa selama ini aku mengira memiliki rumah... namun ternyata fatamorgana.
Duniaku memudar. Semua kisah yang pernah dia gambarkan untukku... hanya sekedar ilusi.
Aku masih membeku. Disini. Ternganga. Tak percaya. Karena aku pernah sungguh-sungguh mempercayainya. Sungguh aku berharap aku bermimpi. Tapi kenyataan menamparku dengan keras. Sangat keras.
Aku memandangi koper-koperku. Yang nyaris semua kuletakkan di tempat yang kuanggap rumah. Aku tergugu. Harus kukemanakan semua kotak-kotak ini? Semuanya masih penuh dengan memori dan harapan. Untuk mengeluarkan dan membuangnya pun, tidak bisa sekaligus. Tanganku akan penuh memar dan darah untuk mengeluarkan itu semua... dari tempat yang kuanggap rumah.
Aku memandangi rumah kosong itu. Dan koper-koper usangku. Pandanganku kabur. Aku tersedu-sedu. Aku harus pergi kemana? Apa yang harus aku lakukan? Tubuhku limbung.
Aku mengusap dinding-dindingnya perlahan. Pilu. Aku masih mengingat tekstur rambutnya di tanganku. Aku masih mengingat jelas massa otot lengannya di gayutanku. Aku masih mengingat bahu lebarnya di sisi kanan kepalaku. Aku masih mengingat punggungnya yang selalu kupeluk dalam boncengan. Aku masih mengingat kaki kokohnya yang selalu berjalan menemaniku. Aku masih mengingat dengan detil semua ruas jari tangannya yang hangat. Aku masih bisa mengingat dengan detil semua jengkal tubuhnya...
Hujanku semakin deras.
Apa yang harus kulakukan dengan kota itu? Semua sudut tempat memiliki jejaknya. Jejak kami. Terlalu menyakitkan untuk kembali kesana. Namun tidak bisa terhindarkan untuk tidak pergi kesana.
Aku bersimpuh menggigil. Ketakutan. Dan penuh luka. Sendirian.
Aku bergumam. Aku harus beranjak, bukan? Tempatku bukan disini. Aku menguatkan diri untuk mundur 1 inchi. Lalu kembali terduduk. Dan menangis.