Ilusi dan kepingan hati

Aku menatap nanar sosok naif itu. Seorang perempuan bertopeng baja yang menangis tersedu-sedu mengais kepingan hatinya.
Aku mengutuk kebodohannya. Apa yang ada di kepalanya? Mengapa begitu mudahnya meletakkan hatinya pada pijakan yg rapuh?

Perempuan itu tiba-tiba membara dengan kemarahannya. Marah karena merasa dikhianati. Marah karena mempercayai ilusi. Marah karena bertahan dan tinggal di tempat yang sama; dan percaya ketika dirinya tidak berubah, maka orang yang dipercayainya pun tidak akan berubah juga. Kotak pandora penuh memori indah yang dia bawa malam itu sungguh indah. Dia berjalan penuh semangat menemui orang yg dipercayainya. Apa lacur, ternyata yang dia temui hanya ilusi.

Hatinya terluka melihat kenyataan bahwa dia bukanlah satu-satunya. Hatinya tersayat mengetahui bahwa dirinya telah dikelabui untuk kesekian kalinya. Hatinya hancur lebur mengingat dia telah menyerahkan jiwa, raga, bahkan martabatnya, kepada orang yang dia pikir paling memahaminya.
Namun, apa haknya untuk marah? Karena sesungguhnya perempuan itu juga bukan siapa-siapa. Tak punya hak atas apapun pada sosok yang dipercayainya. Sekejap kemudian, aku terbelalak ngeri, melihatnya mencakar-cakar tubuhnya. Menghukum raganya sendiri, dengan amarah yang kian memuncak.
 
Aku terdiam. Tak berani mendekat. Perempuan bertopeng baja itu sungguh terlihat menyedihkan.


Sekujur tubuhnya telah compang-camping dengan darah. Tangannya tak lagi berdaya untuk melukai dirinya sendiri. Terduduk di sudut ruangan, dia menunduk dengan tatapan kosong.

Aku mendekat. Duduk perlahan disebelahnya. Diam. Hening. Tak satupun bersuara.

Aku mengamati kaki-kakinya yang ramping namun kokoh. Sudah berapa lama dia menahan semua beban itu di kakinya? Aku meraih jari jemari tangannya perlahan. Tangan kecil yang selalu berusaha membawa semuanya sendiri, karena tidak ingin merepotkan orang lain.

Aku membelai perlahan kepalanya. Yang penuh dengan jaring-jaring pikiran yang selalu disimpannya sendiri.
"Tidak apa-apa", bisikku.

Perempuan bertopeng baja itu pun kembali terisak. Aku menatap iba. Kepingan hati yang dipungutinya sungguh telah hancur. Aku sendiri pun tak yakin bagaimana cara membantunya utk menyusun semua kepingan itu kembali. Perempuan ini sungguh tak punya apa2 lagi yg tersisa.

Aku membelai kembali kepalanya seraya berbisik,
"Tidak apa-apa. Sungguh, tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Tuhan itu baik. Sungguh baik. Kamu percaya itu kan?"
Dia mengangguk lemah.

Aku meyakinkannya. "Benar, tetaplah percaya pada Tuhanmu. Apa yang kau terima hari ini, karena baiknya Tuhan padamu. Tuhan tidak ingin engkau berlarut-larut mempercayai orang yang tak layak kau percayai. Apa jadinya jika engkau telah menghabiskan ratusan purnama demi dirinya? Tuhan tahu hatimu terlalu berharga untuk seekor serigala berbulu domba. Jadi Tuhan tunjukkan kebenaranNya sesegera mungkin. Sebelum hatimu hilang tak bersisa karena diperdaya."

Mata sendunya menatapku lekat-lekat. Jejak-jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya. "Lalu apa yang harus aku lakukan pada serpihan ini?", tanyanya dengan putus asa.

Aku mendekapnya erat-erat. "Aku sendiri pun tak tau", jawabku. "Mungkin, serahkan saja pada Tuhanmu. Percayakan padaNya. Dia yang akan mengurus semuanya."

Tak ada bantahan. Tak ada percakapan lagi sesudahnya. Kami hanya saling diam. Menatap bulan purnama yang samar-samar tertutup awan malam itu.