Kamar kosong.

Ingatanku melayang ke hari itu. Hari pertama menginap di RS Kanker Dharmais... Dan Raesya kecil yang ada dalam pelukanku.

Sepanjang siang aku berusaha tetap riang untuk meringankan gelisahnya. Sementara rekan sekamarnya, yang hanya berjarak 1 meter, sedang dalam kondisi koma dan bersiap utk berpulang.

Malam itu, aku dan Raesya berpelukan diiringi denyut mesin monitor rekan sekamar yg bunyinya menggelisahkan. Aku nyaris tidak mampu terpejam. Berdoa, semoga bunyi monitor itu stabil dan dia mampu bertahan. Aku termenung, dan berbicara kecil pada Tuhan. Bahwa aku lemah. Aku takut. Aku tidak berdaya. Tubuh yang sedang kupeluk saat itu, terasa bukan menjadi kuasaku. Aku menyesap aroma kepala Raesya dalam-dalam ketika dia mulai terlelap. Aku ingin mencium wangi tubuhnya lebih lama lagi Tuhan. Aku merintih. Memohon.

Keesokan harinya, rekan sekamarnya dibawa pulang atas permintaan sang ibu. Mereka ingin sang putri berpulang di rumah, di tengah-tengah keluarga.

Di malam kedua itu, aku dan Raesya kembali tidur berpelukan dengan kesunyian yang justru terasa lebih menikam. Kami tidur di sebuah kamar dengan 2 bed kosong lainnya. Hening. Kosong. Hampa. Aku kembali termenung, melihat cara Tuhan mengajariku tentang betapa rapuhnya kehidupan di dunia.

Aku kembali mendekap Raesya erat-erat. Aku ingin mencium aroma tubuhnya sepanjang tidurku. Selama Tuhan memberiku waktu.