Burung gereja, mimpi, dan doa yang mengangkasa.

Pagi ini. Aku membuka tirai dan jendela. Aku menengadah. Langit hari ini begitu biru dan bersih.
Aku perlahan berdiri. Memperhatikan betapa hijaunya rumput-rumput di depan kamarku, yang mungkin tampak diam. Namun sesungguhnya dia sedang berjuang untuk hidup dan memayungi ribuan makhluk kecil lain di bawah sana.
Di kejauhan, burung gereja berlompatan kesana kemari. Mematuk-matuk entah apa. Sesuatu yang bahkan tidak bisa terlihat oleh mata telanjangku. Namun sangat jelas Tuhan mengirimkan rezeki untuk mereka yang berupaya keluar dari sarangnya, meski harus berangkat dengan perut kosong. Tuhan mencukupkan rezeki mereka semua untuk pulang dengan perut kenyang, sesuai janjiNya. Sungguh. Tuhan penuh belas kasih dan penyayang. Ar Rahman, Ar Rahiim.

Aku menerawang. Menilik mimpi-mimpi dan doa-doaku yang mengangkasa. Diantara kapasitas logikaku yang begitu kerdil, aku sungguh buta. Tidak mengerti. Bagiamana caraku menggapai itu semua. Namun belajar dari rumput hijau dan burung-burung gereja pagi ini, aku tau, yang perlu kulakukan hanya berdiri, dan melangkah. Lakukan apa yang bisa kulakukan semaksimal mungkin, dengan semua karunia yang Tuhan titipkan kepadaku. Dengan segala kelemahanku sebagai makhluk-Nya, aku percayakan pada Tuhan untuk menuntunku dan menyelesaikan ceritanya.

Maka kubuka peti mimpi-mimpiku. Kubenahi kembali niatku. Kususun kembali kepingan mimpiku. Kubulatkan kembali azzamku. Aku tidak tau bagaimana caranya. Aku tidak tau bagaimana cara memulainya. Aku tidak tau bagaimana akhirnya. Yang kutau, Rabb-ku selalu membersamaiku. Semoga Allah ridha.

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Aku menjejakkan langkah-langkah kecilku.

Kamar kosong.

Ingatanku melayang ke hari itu. Hari pertama menginap di RS Kanker Dharmais... Dan Raesya kecil yang ada dalam pelukanku.

Sepanjang siang aku berusaha tetap riang untuk meringankan gelisahnya. Sementara rekan sekamarnya, yang hanya berjarak 1 meter, sedang dalam kondisi koma dan bersiap utk berpulang.

Malam itu, aku dan Raesya berpelukan diiringi denyut mesin monitor rekan sekamar yg bunyinya menggelisahkan. Aku nyaris tidak mampu terpejam. Berdoa, semoga bunyi monitor itu stabil dan dia mampu bertahan. Aku termenung, dan berbicara kecil pada Tuhan. Bahwa aku lemah. Aku takut. Aku tidak berdaya. Tubuh yang sedang kupeluk saat itu, terasa bukan menjadi kuasaku. Aku menyesap aroma kepala Raesya dalam-dalam ketika dia mulai terlelap. Aku ingin mencium wangi tubuhnya lebih lama lagi Tuhan. Aku merintih. Memohon.

Keesokan harinya, rekan sekamarnya dibawa pulang atas permintaan sang ibu. Mereka ingin sang putri berpulang di rumah, di tengah-tengah keluarga.

Di malam kedua itu, aku dan Raesya kembali tidur berpelukan dengan kesunyian yang justru terasa lebih menikam. Kami tidur di sebuah kamar dengan 2 bed kosong lainnya. Hening. Kosong. Hampa. Aku kembali termenung, melihat cara Tuhan mengajariku tentang betapa rapuhnya kehidupan di dunia.

Aku kembali mendekap Raesya erat-erat. Aku ingin mencium aroma tubuhnya sepanjang tidurku. Selama Tuhan memberiku waktu.