Satu inchi.

Sungguh, aku pernah berpikir, bahwa tangan itu akan menggenggamku selamanya. Dia pernah berjanji, dan minta aku buktikan itu. Bahwa dia akan selalu ada disana. Hingga kami menua. Dan aku pernah percaya itu.

Sejak itu, tidak pernah satu inchi pun aku beranjak pergi. Aku masih disana. Tak pernah beranjak selama ribuan hari. Kukira dia duniaku. Kukira dia rumahku. Yang masih selalu dengan riang aku cari dan berlari-lari menggelayut ke arahnya. Kukira dia tempat ternyamanku. 

Sungguh aku bodoh. Betapa aku naif. Meletakkan semua milikku di tempat yang sama bertahun-tahun, dan percaya bahwa dia akan menepati janjinya.

Duniaku terguncang. Melihat tangan yang kupercaya akan selalu menjaga dan menggenggamku, menggenggam tangan yang lain.... dengan mudahnya.

Duniaku berkeping. Menyadari bahwa selama ini aku mengira memiliki rumah... namun ternyata fatamorgana.

Duniaku memudar. Semua kisah yang pernah dia gambarkan untukku... hanya sekedar ilusi.

Aku masih membeku. Disini. Ternganga. Tak percaya. Karena aku pernah sungguh-sungguh mempercayainya. Sungguh aku berharap aku bermimpi. Tapi kenyataan menamparku dengan keras. Sangat keras.

Aku memandangi koper-koperku. Yang nyaris semua kuletakkan di tempat yang kuanggap rumah. Aku tergugu. Harus kukemanakan semua kotak-kotak ini? Semuanya masih penuh dengan memori dan harapan. Untuk mengeluarkan dan membuangnya pun, tidak bisa sekaligus. Tanganku akan penuh memar dan darah untuk mengeluarkan itu semua... dari tempat yang kuanggap rumah.


Aku memandangi rumah kosong itu. Dan koper-koper usangku. Pandanganku kabur. Aku tersedu-sedu. Aku harus pergi kemana? Apa yang harus aku lakukan? Tubuhku limbung.


Aku mengusap dinding-dindingnya perlahan. Pilu. Aku masih mengingat tekstur rambutnya di tanganku. Aku masih mengingat jelas massa otot lengannya di gayutanku. Aku masih mengingat bahu lebarnya di sisi kanan kepalaku. Aku masih mengingat punggungnya yang selalu kupeluk dalam boncengan. Aku masih mengingat kaki kokohnya yang selalu berjalan menemaniku. Aku masih mengingat dengan detil semua ruas jari tangannya yang hangat. Aku masih bisa mengingat dengan detil semua jengkal tubuhnya...


Hujanku semakin deras.


Apa yang harus kulakukan dengan kota itu? Semua sudut tempat memiliki jejaknya. Jejak kami. Terlalu menyakitkan untuk kembali kesana. Namun tidak bisa terhindarkan untuk tidak pergi kesana.


Aku bersimpuh menggigil. Ketakutan. Dan penuh luka. Sendirian.


Aku bergumam. Aku harus beranjak, bukan? Tempatku bukan disini. Aku menguatkan diri untuk mundur 1 inchi. Lalu kembali terduduk. Dan menangis.

Aku menatap nanar wajah penuh hujanku di pantulan cermin, dan berkata: "Terimakasih, telah menguatkan diri untuk beranjak pergi, meski hanya satu inchi. Terimakasih, telah bertahan selama itu, di tempat yang sama. Bertahun-tahun lamanya. Terimakasih, tidak pernah berubah sedikitpun selama itu. Kamu hebat. Terimakasih ya."

Aku kembali tergugu dan menatap bola mata cokelat di pantulan cerminku. Menghiburnya kembali dengan berkata: "Tidak apa-apa. Sungguh, tidak apa-apa. Menangislah lagi, jika itu bisa menyembuhkanmu. Tapi besok, kita beranjak lagi pelan-pelan ya... Meski hanya satu inci lagi, tidak apa-apa. Akan tiba masanya, kamu akan meninggalkan rumah itu dengan sempurna. Mungkin bukan sekarang. Tapi pasti suatu hari nanti."


Advice to myself

Dear me,


Everything changes, but you.

So what do you expect by staying the same?

Because nobody stays the same.

Because everything changes.

Because everyone changes.

So,

Don't hurt yourself by staying the same.

Don't rely your home on someone.

Stop crying for a home that hasn't been there anymore.

Wake up big girl. Let's move on.

Tidak ada yang tersisa disini. Puing-puing ini bukan rumah. Hanya fatamorgana yang kamu pikir nyata.