Perjalanan empat derajat celcius

Empat derajat celcius. Dalam sebuah van hitam. Seorang wanita dari Vietnam duduk di sebelahku sepanjang perjalanan hari ini. Dia bercerita tentang liku-liku hidupnya yang tidak mudah. Aku mengamini, karena aku percaya, sesungguhnya setiap orang memiliki perjuangan dan peperangan hidup masing-masing. Yes, everyone is struggling the war that we might not know. So, instead of judging, try another way: understanding. And be kind to others.

Aku menggenggam tangannya, hingga dia mengucapkan sepatah kalimat di tengah kisah peperangan hidupnya: "I can become a child whenever I'm with him".

It hit me. Hard. All of sudden.

Aku menggigil. Mantel tebal yang kukenakan terasa tipis. Temperatur udara luar yang semakin menurun terasa menembus winter stockingku yang sudah kukenakan hingga dua lapis. Semua yang kusimpan dengan rapi di planet kecil itu, tiba-tiba berhamburan keluar. Membuncah dengan carut marut rasa yang sulit diterjemahkan. Mataku menatap nanar jalanan lengang dari balik kaca mobil van hitam kami. Bulir-bulir air yang menetes di sudut mataku, membuatku terhenyak. Gadis ini sedang bercerita. Namun aku yang menangis. Dia meyakinkanku dengan berkata: "I'm okay, Riris".

Aku mengangguk, sembari bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku menangisi kisahnya? Ataukah aku menangisi kisahku sendiri? Aku melepaskan genggaman tanganku darinya perlahan. Mengambil selembar tisu, dan menata kembali kotak pandoraku kembali.

Jauh di palung terdalam, aku bergumam;
I know how it exactly felt to spin around like a child. Safely. No matter how many times I bumped into each corner. I know I will be safe with him.

Lagi. Untuk kesekian kalinya, aku berbisik pada Tuhan. Tolong. Kumohon. Tolong aku, dengan segala kekacauan ini.